Kamis, 11 Desember 2014

KTSP Kurikulum 2006 Masih Banyak Masalah (Juga)

Sejumlah sekolah di Kupang, Nusa Tenggara Timur, kebingungan menerapkan kurikulum di sekolahnya setelah Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar-Menengah Anies Baswedan menghentikan penerapan Kurikulum 2013.

"Kami bingung karena selama ini siswa di sekolah sudah diterapkan Kurikulum 2013. Apalagi menjelang ujian semester," kata Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Kupang Jeni Bhasarie kepada Tempo, Selasa, 9 Desember 2014. 
Menurut dia, pihaknya telah mendapatkan surat penghentian Kurikulum 2013 tapi masih kesulitan menghentikan kurikulum yang telah diterapkan sejak 2013 tersebut. "Kami merupakan salah satu sekolah contoh penerapan 2013," ujarnya.


Kebingungan juga dialami Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT karena kesulitan mengubah sistem kurikulum saat proses KBM sedang berjalan. "Kami masih gunakan Kurikulum 2013 karena tidak bisa serta-merta dihentikan saat ada perintah Menteri," tutur Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Piter Manuk. 

Untuk kembali menerapkan Kurikulum 2006, kata dia, membutuhkan waktu yang cukup lama, karena saat ini hampir semua sekolah di NTT telah menerapkan Kurikulum 2013. "Memang siswa dan guru mengeluhkan penerapan Kurikulum 2013, tapi tidak bisa serta-merta dihentikan," ujarnya.





PENDAPAT MANTAN MENDIKBUD TENTANG (KEMBALI KE) KTSP
Berikut petikan wawancara dengan mantan Mendikbud M Nuh:
Apakah imbauan penghentian penerapan Kurikulum 2013 dan kembali ke KTSP merupakan langkah mundur?
Yang menarik, kan, begini; setop, lalu kembali ke KTSP. Padahal kita tahu persis lubang-lubang di KTSP. Dan banyak pihak selalu berkata bahwa kurikulum 2013 diterapkan tanpa evaluasi KTSP terlebih dahulu. Saya selalu menjawab, bagaimana kita (Kemendikbud - red) bisa membuat kurikulum 2013 tanpa evaluasi KTSP? Bagaimana saya bisa mengetahui kelemahan KTSP?
Untuk mengevaluasi kurikulum, kita menggunakan indikator kurikulum itu sendiri yaitu isi materinya, - prosesnya dan evaluasinya. Kan itu rumusnya. Bahkan Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pun sudah memaparkan standar kompetensi meliputi sikap, keterampilan dan pengetahuan. Sangat jelas.
Kurikulum 2013 mengedepankan kompetensi sikap anak didik.  Sikap seperti apa yang dituju kurikulum 2013?
Sikap di situ ada sikap spiritual, ada sikap sosial. Dan oleh sebagian kalangan selalu diributkan sebagai sikap spiritual saja. Seakan-akan kurikulum 2013 melakukan agamaisasi, karena hanya melihat sikap spiritual tadi. Tetapi, kalau toh ada agamaisasi, apa yang keliru?
Penilaian kurikulum 2013 memang jauh berbeda dengan KTSP.
Ya, karena begitu masuk tentang sikap, maka evaluasinya pun berubah. Dan ini tidak dilakukan di KTSP.
Pada KTSP, cara penilaiannya masih sebagai pengetahuan. Numerik, dengan angka enam, tujuh, delapan. Dan inilah yang dikoreksi kurikulum 2013 sebagai penilaian sikap. Kita (Kemendikbud - red) punya prinsip, setiap mata pelajaran memberikan kontribusi pada pendidikan sikap karena ingin menerjemahkan amanah UU Sisdiknas. Rujukannya kan itu.
Ini pula yang dikeluhkan para guru karena merasa kesulitan dalam menilai sikap.
Saya katakan, ya. Saya paham bahwa hampir bisa dipastikan guru akan kesulitan dalam menilai sikap yang menggunakan deskriptif kulitatif.
Tapi bukan berarti guru tidak bisa, melainkan hanya belum terbiasa. Saat ini kan guru sudah berada dalam zona nyaman. Turun temurun, guru kita, gurunya guru kita, sejak Indonesia merdeka menilai secara numerik. Sekarang diminta berubah. Tidak cukup angka enam, tujuh, delapan. Kasih penilaian deskriptif di situ, si A bagaimana, si B bagaimana, dan seterusnya.
Dan tidak hanya guru PPKn atau agama, semua guru harus memberikan penilaian sikap. Karena tugas pembentukan sikap bukan tugas guru tertentu. Inilah yang diterjemahkan oleh KTSP, seakan-akan hanya guru tertentulah yang mengajarkan sikap.
Lubang lainnya apa lagi?
Dalam pendidikan keterampilan juga demikian. Keterampilan dalam KTSP diterjemahkan menjadi tugas prakarya. Padahal bukan itu. Setiap mata pelajaran memiliki fungsi keterampilan yaitu keterampilan berfikir abstrak, keterampilan menyampaikan pendapat, itu semua keterampilan.
Hakikat keterampilan kan menerjemahkan pengetahuan dalam praktik keseharian. Jangan sampai keterampilan diterjemahkan sebagai membuat prakarya, itu sangat naif. Dan itulah yang dilakukan di KTSP.
Selain itu di SMK tidak ada pelajaran sejarah. Semangat penyusunan Kurikulum 2013 juga dilandasi semangat nasionalisme. Karena itulah kita mengajarkan sejarah sebagai mata pelajaran wajib di SMK. Dalam pendidikan kita, anak harus tahu tentang sejarah Indonesia, mulai dari cikal bakalnya.
Bagaimana dengan aspek pelajaran bahasa Indonesia?
Kita juga ingin mengangkat bahasa Indonesia, dari sisi materi. Berapa sih kita memberikan porsi jam pelajaran bahasa Indonesia dibandingkan bahasa asing? Hanya separuh!
Sebab, kita salah mendefinisikan bahasa Indonesia seakan-akan hanya untuk komunikasi. Padahal tidak. 
Ilustrasinya begini, hal pertama yang akan dikoreksi dosen saat membaca skripsi atau tugas akhir mahasiswa adalah tata bahasanya bukan substansi atau teori yang dipakai. Dosen akan melihat, bagaimana cara menyampaikan atau mengemas gagasan dengan bahasa Indonesia yang baik. Artinya, kemampuan berbahasa Indonesia kita lemah. Sebab, kita menempatkan bahasa Indonesia hanya sebagai alat komunikasi, bukan sebagai carrier of kowledge (pembawa ilmu pengetahuan).
Sehingga nanti yang mengajarkan bahasa Indonesia (dalam kurikulum 2013) bukan hanya guru bahasa Indonesia. Guru apa pun, harus bisa mengajarkan bagaimana berbahasa Indonesia yang baik.
Evaluasi apa lagi yang menjadi dasar perumusan kurikulum 2013 sebagai pengganti KTSP?
Nilai TIMMS dan PISA anak Indonesia yang sangat rendah. Semua sudah tahu itu, hampir 80 persen nilai TIMMS dan PISA kita di bawah level satu. Setelah dianalisis, salah satu alasan mendasar jebloknya nilai Indonesia adalah banyaknya indikator penilaian kemampuan literasi anak Indonesia di bawah standar. Misalnya, dalam mata pelajaran Matematika Terapan siswa kelas VIII, anak kita belum mendapatkan materi tentang data. Belum ada di dalam silabus, bukan belum diajarkan.
PISA dan TIMSS adalah dua tes untuk mengukur literasi matematika dan sains pada siswa kelas menengah di berbagai negara. Selain literasi matematika, PISA yang dihelat oleh Organisation For Economic Co-operation and Development (OECD) juga mengukur kemampuan siswa usia 15 tahun (kelas III SMP dan KelasI SMA) dalam membaca (reading literacy). Sementara itu, studi TIMSS diselenggarakan oleh International Association for the Evaluation of Education Achievement (IEA) yaitu sebuah asosiasi internasional untuk menilai prestasi dalam pendidikan yang berpusat di Lynch School of Education, Boston College, USA. (red)
Komentar lain tentang KTSP?
Pernyataan Pak Anies bahwa KTSP adalah jelmaan kurikulum 2004 itu salah. Kurikulum 2004 adalah kurikulum berbasis kompetensi (KBK). KTSP disusun untuk memenuhi UU Sisdiknas. Saya sendiri tidak tahu apa dasar keputusan kembali ke KTSP ini.
SUMBER : TRIBUN DAN TEMPO

Rabu, 10 Desember 2014

Kurikulum 2013 atau KTSP?

Menteri Kebudayaan-Pendidikan Dasar dan Menengah Anies
Baswedan menghentikan Kurikulum 2013 pada 5 Desember 2014. Alasannya, kurikulum 2013 dinilai belum kuat. "Sisi konsep belum dievaluasi tapi sudah dilaksanakan di 208 ribu sekolah. Jadi masalahnya bukan perubahan kurikulum boleh atau tidak," kata Anies
Kurikulum 2013 dinilai mulai diragukan efektivitasnya. Ada beberapa hal penting yang patut diperhatikan.
Pertama, guru tidak siap mengajarkan kurikulum ini. Kedua, infrastruktur kurikulum belum tersedia sepenuhnya.
Hal lain yang berpotensi akan mempengaruhi penerapan kurikulum ini adalah pergantian rezim di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pasca pemilihan presiden (Pilpres) 2014. Kurikulum yang secara serentak diberlakukan mulai tahun ajaran 2014/2015 di semua jenjang sekolah, mulai dasar hingga menengah ini dinilai terlalu dipaksakan untuk diterapkan.
Berbagai masalah muncul ketika banyak sekolah mengeluh karena belum tersedianya buku paket untuk murid maupun pegangan guru. Masalah lainnya adalah minimnya kesiapan guru dalam menerapkan kurikulum ini karena banyak guru yang belum mendapat pelatihan.
Seperti dilansir dari keterangan tertulis yang diterima Okezone, Kamis (28/8/2014), Indonesia Corruption Watch (ICW) telah melakukan pemantauan di Jakarta selama tiga minggu pertama sejak kurikulum ini diterapkan.
Dari pemantauan tersebut, diperoleh beberapa temuan, seperti buku pelajaran siswa belum tersedia seluruhnya terutama di jenjang pendidikan dasar dan menengah (SD dan SMP). Akibatnya, murid dan orangtua murid menggandakan buku melalui fotokopi, membeli di toko buku, atau mengunduh dari internet.
Selain itu, orangtua dan murid harus mengeluarkan biaya untuk mendapatkan bahan kurikulum 2013. Pihak sekolah tidak bersedia membayar biaya unduh, print, fotokopi atau pembelian buku di toko buku dengan alasan bahwa dana bantuan operasional sekolah (BOS) terbatas dan hanya untuk membayar buku yang telah dipesan oleh sekolah. Pertanyaanya, siapa yang akan menanggung biaya yang terlanjur digunakan oleh orangtua murid untuk pengadaan materi pelajaran kurikulum 2013 tersebut?
Kemudian, sebagian besar guru belum mendapatkan training kurikulum 2013. Sebagian kecil lainnya sudah mengikuti paling sedikit selama dua hari dan paling banyak satu minggu. Meski yakin bisa mengajarkan materi pelajaran sebagaimana mengajar saat kurikulum sebelumnya, akan tetapi mereka merasa belum cukup mendapatkan materi kurikulum 2013 seutuhnya. Kualitas belajar mengajar di sekolah dikhawatirkan semakin rendah, karena guru tidak menguasai materi kurikulum 2013 sepenuhnya.
Tidak hanya itu, guru juga mengeluhkan metode penilaian siswa yang dianggap memberatkan. Guru membuat penilaian dibuat dalam bentuk narasi untuk setiap siswa.
Hal ini bermasalah terutama bagi guru yang mengelola murid dalam jumlah besar seperti di tingkat SMP. Seorang guru harus menilai lebih dari 200 murid secara naratif, padahal mengenal nama mereka saja selama tahun ajaran belum tentu bisa mereka lakukan. Guru hanya mampu mengingat murid yang menonjol dan menarik perhatiannya.
Lalu, guru belum memiliki buku pegangan guru terkait kurikulum 2013. Akhirnya guru mengajar hanya berdasarkan bahan yang diunduh.
Sehingga, murid SMA hanya disediakan buku teks untuk mata pelajaran Imapel) wajib, sedangkan untuk penjurusan ditanggung oleh siswa itu sendiri. Dengan demikian, buku kurikulum 2013 tidak gratis sepenuhnya.
ICW menilai, kekacauan penerapan kurikulum 2013 merupakan bentuk kelalaian pemerintah dalam menunaikan kewajibannya untuk menyediakan pendidikan bermutu. Akibatnya, hak murid dan guru atas pendidikan bermutu tersebut terancam.
Menyikapi hal itu, maka ICW merekomendasikan untuk menghentikan pelaksanaan kurikulum 2013 dan kembali ke kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). sumber : http://news.okezone.com
kesaksian siswa :
Fariez Radya, 16 tahun, siswa kelas 11 Ilmu Pengetahuan Alam SMA 6 Jakarta Selatan, mengatakan Kurikulum 2013 memberatkan siswa. "Saya yang diminta aktif di kelas untuk menjelaskan kepada teman-teman," kata dia di sekolahnya, Jalan Bulungan, Jakarta Selatan, Senin, 8 Desember 2014.

Teman sekelasnya, Adrian T (16), juga mengatakan hal yang sama. Karena, banyak tugas yang diberikan, jam belajar yang dibutuhkan juga lebih banyak. "Stress juga," ujar dia.